MENGGUGAT LELAH
Oleh : Asep Suhermin
Saat
letih tak lagi mampu dirasakan
Hanya
pasrah yang mungkin akan terucap
Karena
rindu bukanlah sebuah jalan pilihan
Berbatas
harapan yang semu kemulai meraih sebuah mahkota
Kini aku mulai kembali berharap ada kekuatan
yang terdalam dapat meletihkan keputus asaan. Karena telah 24 tahun aku
berpijak dalam ketidak pastian. Mungkin hanya mati yang akan menjawab sebuah
kutukan. Inilah aku yang sudah renta dan tak mampu lagi bersujud. Namun aku
tegakkan kelopak mata yang sudah tak dapat lagi
terkatup.
Jadi siapa lagi yang harus aku percaya?
Dalam aku merenung malam yang tak jua dapat memberikan jawabannya. Haruskah aku
tertidur kembali dalam kelelahan?
Kini peluh-peluh telah terbayar keringat.
Hanya bergumam dan mengumpat dalam kicauan dan kabar burung. Sebuah motivasi
terperangkap untuk terus melaju dalam sebuah cita-cita. Kuharap kau tak pernah
ada dan takkan pernah ada. Aku marah saat kau ada dan memanggilmu saat kau tak
ada. Kau datang terlalu cepat dan pergi terlalu lambat.
Jadi, jika bayi yang menangis pun kau
jamah hingga tertidur, ku harap kau mampu menidurkannya dalam nyenyak. Dan
membangunkannya dengan air susu terlihat mata kecilnya. Tapi kau datang dan
kembali menyulam kantuk dalam wajah kecilnya setelah terlelap dalam deru-deru
tangisnya.
Ah…kuberi laknat dengan rasa ini. Pergi
jauh untuk menggapai musnah. Aku tak membutuhkan mu. Jangan kau jamah keabadian
dan semangat hidup yang terjalani kami para mahluk. Tapi layakkah aku menggugat
mu dalam kau yang kadang kali pula binasa?
Aku tak boleh memintamu mati. Karena kau
ada karena aku ada. Semua yang tampak bergelayutan untuk berdiri pada dua kaki
yang letih. Kau usik dengan lembut dan kesesalanpun terbingungi. Tetes –tetes
yang kerap kali keluar dari mata, dan kusebut air mata, menjadi sebuah contoh
bahwa kau tidak diharapkan. Namun saat kelak nanti waktu memulihkan semua
menjadi kuat, aku akan bilang persetan jikalau kau datang lagi.
Apalagi jika kau merindukan jejak-jejakku
yang aku sendiri sadar akan menghilang tanpa aku harus hapus. Bercanda tawapun
kau harus datang. Dalam air mataku pun ku tahu kau tertawa membelai. Menjadi
manusia terbaik pun kau tetap belay dalam bingung. Sedianya cukup wajar bagiku
letih untuk menjadi cemooh masa menjadi yang terburuk untuk para tetangga.
Hai…kau
yang selalu membuat aku mati
Hai….kau
yang selalu ku lawan dalam pergulatan menindihmu
Hai…kau
yang diam meski tak pernah kalah
Berbagilah kau dengan masa depan dan akan
menjadi masa lalu. Kadang aku yang ingin terbangun di tengah malam, kau usik
dengan suara bising di telinga yang tak dapat pula kudengat. Kau khayalkan aku
dalam sebuah mimpi dan pengharapan yang sesaat.
Kini bertasbih aku mengingat penciptamu.
Kau Ia
ciptakan agar ada waktu aku untuk mengenal wajahku.
Kau Ia ciptakan
agar aku mampu mendengar suara nadir kecil di hatiku.
Kau Ia
kirimkan untuk memenuhi hasrat rasa sakit dalam kesembuhan
Namun,
picik rasanya kau ku jamah dan kau ku anjingkan dalam berbagai usahamu
menghangatkan aku.
Ini adalah sebuah prosa puisi yang
tergugat namun tak pernah perlu digugat. Hanya saja, aku berdiri di podium
dengan menerima teriakan kagum tanpa ada rasa ini. Inilah yang ku sebut ingkar
dalam keadaan sebenarnya. Jika semua menyadari apa yang ada didepan adalah
jalan kelarnya. Yentunya kita hanya harus mencari tanpa harus menggugat apapun
yang terlihat, terdengar, tercium dan terpijak. Karena apapun hanyalah warna
abu-abu yang sebentar lagi memutih atau menghitam dalam buih-buih keputusan
yang kita pilih. Menggugat kekuatan lelah atau mencari kekuatan dalam lelah?
16
Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar