TENGOKLAH KELUAR
Ada banyak guru diluar
sana, ada banyak sekolah dijalanan, ada banyak pelajaran dimanapun saya
berdiri, berlari dan singgah. Ada yang mengajari saya untuk lebih banyak
bersyukur saat mengamati orang-orang yang tengah diberi cobaan untuk menjalani
kepahitan hidup, tukang sapu jalanan yang menjelma menjadi guru saya setiap
kali saya melihatnya, bahwa rezeki tidak datang dengan tangan yang terus
menerus menengadah. Anak-anak jalanan yang memberi makna terdalam tentang cinta
dan kepedulian, pojok-pojok kota yang kerap mengajarkan arti kesederhanaan
hidup, bahkan riuh rendahnya kota yang berbicara tentang kerasnya perjuangan
hidup.
Siapa yang tak mampu
mengambil pelajaran disetiap perputaran waktu dan silih bergantinya siang dan
malam, yang tak lebar-lebar membuka matanya mengamati lintasan-lintasan
peristiwa dan kejadian penuh makna yang tak pernah berhenti, yang tak
menjadikan telinganya untuk mendengar lebih banyak keluh dan kesah, serta jerit
yang kerap tak terdengar dari balik jendela mobil juga kantor yang tak
membiarkan langkah kakinya sering-sering mengarah kejalanan untuk merasai
langsung panasnya aspal yang membakar kulit dan terik yang memanggang kepala,
sungguh amat merugilah ia.
Sungguh ada jiwa yang
terbelai lembut setiap kali mendapatkan senyum balasan seorang pengemis tua,
senyum yang jelas lebih menyentuh dari senyum klien atau rekan bisnis. Ada hati
yang semakin peka usai berlama-lama mengobrol menyongsong senja bersama anak
penjaja Koran sore, bahwa apa yang bisa makan esok pagi sangat bergantung dari
berapa Koran yang terjual. Usahlah, mengajak mereka bermimpi untuk meneruskan
sekolah, karena mereka hanya tahu bangku sekolah bukan tersedia untuk mereka.
Dan pulanglah lebih malam ketika langkah anda akan terasa lemas bukan karena
lelah sepulang bekerja, melainkan mata anda yang menyaksikan begitu banyak
orang tertidur diemperan kota, sebelah tangannya menjadi bantal, tangan satunya
mendekap perut yang belum sempat terisi semenjak siang. Menangislah orang-orang
seperti saya mengingat nasi yang sering terbuang percuma karena masak
berlebihan atau anak-anak yang bertingkah ingin jajan diluar.
Peluh yang keluar dari
dahi dan setiap inci tubuh mereka, mungkin akan menjadi wewangian semerbak
mereka dihadapan Allah nanti, bukti bahwa mereka bernar-benar merasai hidup
yang sebenarnya. Legam hitam kulit yang terbakar matahari itu, bisa jadi
pertanda bagi para malaikat untuk bersaksi atas perjuangan keras mereka
bertahan atas semua cobaan dari tuhannya. Sementara kita? Seberapa banyak
keringat kita? Tapi kenapa kita tak lebih bersyukur dari mereka dan terus
menerus mengeluh?
Saya masih bisa
bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk lebih banyak melihat keluar,
dari balik jendela bis kota, dari aktivitas social yang saya geluti, dari
kebiasaan untuk banyak singgah ditempat-tempat dimana saya bisa menemukan
guru,sekolah, dan pelajaran kehidupan sesungguhna. Meski Cuma menengok, tapi
saya tetap ingin selalu menyempatkan hati melihat keluar. Selalu
Oleh : Bayu Gawtama, 11
amanah lelaki
Tulisan diatas, adalah
salah satu bab favorit saya dalam buku 11 amanah lelaki, yang dengan santun dan
menyentuh ditulis oleh BAYU GAWTAMA. Sebelum membaca tulisan diatas, saya
mengira bahwa acapkali saya terlalu pusing dan ribet di jejali pikiran-pikiran
yang bukan tugas saya. Namun setelah membacanya, saya tahu bahwa berfikir,
merenung dengan melihat keluar adalah bukan kegilaan atau ketidak warasan, akan
tetapi sebuah pemikiran yang sederhana, namun luar biasa dari mereka yang
dilahirkan tidak sama seperti yang
lainnya. BAB ini pun menjadi jalan bagi saya untuk SEMBUH serta bersyukur dan
yakin bahwa dilahirkan tidak sama sperti yang lainnya adalah sebuah ANUGERAH. Dan
diluar sana ada banyak pendukung-pendukung terbaik untuk kita agar tetap BERBEDA…