26 Oktober 2012
SEBUAH CATATAN BERSAMBUNG DARI 13 TAHUN YANG LALU
1999
Rasanya masih mentah saat aku
menginjakan kaki ditempat ini sebagai siswa kelas 2 SMU di sebuah Sekolah Umum
Negeri di Cimahi. Saat itu aku melakukan riset bersama kawan-kawan praktikum
biologi untuk mengumpulkan koleksi herbarium, mempelajari unsur sampah dan daur
ulang, dan entah apa lagi yang kami lakukan saat itu. Rasanya baru kemarin aku
meminta ibu memasak mie goreng sebagai bekal perjalanan itu, atau bersenda
gurau dengan kawan-kawan saat perjalanan menaiki dan menuruni bukit, atau saat
makan bersama yang aku baru tahu bahwa ada orang yang diam-diam
memperhatikanku. Eitsssss…gini-gini juga ada lo yang ngeceng..hehehe
13 thn yang sangat singkat sejak aku
menjejakan kaki diatas tumpukan sampah dan memperhatikan para pemulung yang mengais rejeki dari barang-barang yang seluruh Bandung buang secara
sengaja atau tidak sengaja. Waktu yang sangat singkat juga sejak aku secara
seksama mendengarkan penjelasan dari bapak penanggung jawab Tempat Pembuangan
Akhir Leuwi Gajah itu. Dalam pikiran kami hanya terfikir betapa baunya tempat
ini, satu cairan saja terpencret ke baju kami, baulah tubuh kami di sepanjang
perjalanan. Yang ada dalam pikiran kami hanyalah betapa banyak para insan yang
menggantungkan hidupnya, bahkan mereka bisa membeli barang-barang mewah dan
rumah yang mentereng hanya dari mengais sampah. Dan tak terpikir sedikitpun di
kepala kami, khususnya aku, bahwa 6 Tahun kemudian sebuah tragedi mengerikan
akan memporak porandakan sebuah kehidupan dan menghilangkan sekitar 160 nyawa
yang 30 diantaranya raib tak pernah ditemukan…..
Sekarang aku disini, terduduk
disebuah motor matic sambil membayangkan betapa dulu tidak begini. Memang
terasa hawa-hawa pedih dan kesedihan ditempat ini. Rasanya seperti disebuah
negeri antah barantah yang tak ada dalam peta. Biasanya negeri tipe ini indah
dan menakjubkan, namun yang kurasakan kini adalah sebuah kesedihan dan kenangan
yang takan pernah terhapus meski cerita digerus peradaban dan perubahan zaman.
Disini akan tetap tersimpan sebuah kenangan mengerikan yang jadi urban legend
bagi seluruh penerus dan keturunan yang lahir ditempat ini..
2012
Perjalanan mulai terganggu rusaknya
jalan, bahkan sejak keluar dari jalur utama Jln. Kihapit. Jalan berbatu
berpasir, berdebu, well............ its perfecto I think. Namun, bebrapa meter kemudian jalan
sudah lebih baik, dan dijalan ini terlihat sering diperbaiki. Di sisi kanan
jalan terlihat sampah-sampah bertumpukan memamerkan dirinya, ada asap dan
beberpa bilik tua yang menjadi hiasan lapangan sampah ini. Disebelah kiri
jalan terdapat sebuah kampung yang berada dibawah jalan yang kami lalui. Kampung
yang terletak di lembah bukit, dengan udakan-undakan sebagai jalan. Terlihat
rumahnya cukup bagus dan mewah, dengan gapura selamat datang di awal “pintu
masuk”. Ku fikir ini kampung yang akan kami tuju, ternyata………….bukan ini dan perjalanan kami selanjutnyalah yang layak disebut perjalanan.
Kami terus mengikuti jalan itu
hingga menemukan sebuah jalan yang menurun, berbatu, berpassir, berdebu
kembali. Hanya saja ini lebih parah, karena jalannya menurun dan batu-batu yang
ada dijalan bejat ini lebih besar dari saat pertama kami keluar dari jalan
utama. Tiba di bawah jalan, terdapat cagak yang kondisi jalan keduanya SANGAT RUSAK PARAH. Ke arah kanan adalah arah
yang akan kami ambil saat pulang nanti, sementara Yang paling parah adalah
jalan yang sebelah kiri, sebab jalannya menanjak berbahaya ditambah batu-batu
yang lebih besar lagi. sayangnya jalan inilah yang harus kami pilih. Salah satu
motor dari kami bahkan sempat terjatuh dan kesulitan mencapai atas. Aku dengan
sedkit keberanian yang ciut, dan nafas yang luar biasa sesak (maklum sedang
kondisi tidak baik saat itu), mencoba menaiki jalan itu, dan kaki tetap di
injakan ke tanah. Subhanalloh..sesaknya nafasku saat itu, namun alhamdulillah
akhirnya aku sampai ke atas jalan, dan setelah melalui beberapa belokan
akhirnya terlihatlah sebuah kampung kecil di balik bukit..aku sendiri sedikit heran,
kenapa tak ada hingar bingar hari raya sebagaimana semestinya, namun mengingat
kembali kondisi yang diceritakan salah seorang guruku, aku memahaminya.
Singkat cerita kami sampai di rumah
ustadz yang mengajar di mesjid yang akan kami berikan donasi pada pukul 11.34
wib, saat itu hari jumat ied adha, dan kami yang laki-laki langsung
melaksanakan shalat jumat bersama, meskipun hanya ada 4 baris kurang. Sehabis
jumatan kami berkumpul dimesjid, beramah tamah, saling memperkenalkan, dan
tentunya menyerahkan donasi yang alhamdulillah
berupa:
1. 27 Buah IQRA
2. 8 Buah Alquran biasa
3. 5 Buah ALQURAN terjemahan
4. 2 buah buku tajwid
5. Uang Tunai Rp. 150000 (diberikan
berkala)
Alhamdulillah semua donasi di berikan secara
simbolis dan disaksikan beberpa tokoh didaerah tersebut.
Acara ramah tamahpun selesai, dan
tibalah waktunya yang dinantikan, khusunya oleh 2 donatur yang alhamdulillah
ikut bersama kami, yaitu penyembelihan hewan kurban.
Aku dan rombongan berjalan menuju sebuah wilayah yang berada dibawah lagi. Sebuah wilayah yang dekat dengan jalan. Sebuah jalan yang lagi-lagi terbentuk dari bebatuan dan pasir-pasri berdebu. Di wilayah ini, masih dengan beberapa rumah yang mentereng-meski lebih tepatnya dikatakan rumah baru- yang didepannya terdapat sebuah kandang kambing dengan beberapa kambing yang sudah terikat dibeberapa tiang.” Ini pasti hewan-hewan kurbannya”, pikirku. Ada 9 kambing yang Alhamdulillah gemuk yang sudah siap untuk disembelih. 9 Kambing?..berarti ada 6 kambing dari dontur lain. Alhamdulillah…
“Ritual” Qurban pun dimulai,
“penyerahan” keikhlasan yang luhur dalam MAKNA hari raya Qurban betul-betul
terasa. “pesta” bahagia seluruh muslimin sangat terasa tiba-tiba. Sebuah
suasana hangat menyentuh relung-relung hati kami. Tiba-tiba saja kami begitu
akrab dalam ikatan persaudaraan tanpa ikatan darah. Dan kami pun berbincang
sambil menikmati olahan singkong, yang terkenal katanya menjadi komoditi utama
daerah ini.
Letak geografis, administrasi
daerah, bencana, dan kepercayaan yang ada di kampung ini menjadi pembahasan
yang menarik. Beberapa kesimpulan yang kudapat mengenai daerah ini
1. Daerah ini merupakan daerah terparah
yang terkena musibah tanah longsor 5 tahun yang lalu. Meski menurut yang
diberitakan, daerah cirende RT 02, 03, 05 lah
yang terkena hempasan musibah “sampah berapi”. Namun faktanya, yang
terkena musibah ini adalah daerah kampong Pojok, RT 01 dan 04 cirende.
Buktinya, daerah ini dianggap hilang, dan penduduknya diduga sudah tidak
menempati daerah bencana, dan secara administrative kewilayahan kota,
dihapuskan. NAmun, daerah ini sebetulnya berpindah dari daerah yang terkena
bencana, mengungsi menuju daerah yang lebih aman di dekatnya
2. Fakta bahwa pemerintah dahulu, tidak
memperhatikan keadaan TPA Leuwi Gajah adalah salah. Awalnya pemerintah
berencana untuk memindahkan pembuangan Sampah ini, namun masyarakat sekitar
meminta untuk mengurungkannya. Bisa dimklumi sebenarnya, mengingat menjadi
pemulung sampah, menjadi salh satu mata pencaharian sebagian masyarakat di
daerah cirende. Namun alangkah nestapanya, sebab permintaan ini justru menjadi
jalan pintas untuk mengundang “malaikat maut”…keterangan ini ku dapat dari
pembicaraanku dengan ustadz yang mengajar di mesjid Nurul Huda
3. Keadaan papan (rumah) masyarakat
disini ternyata sangat bagus, tapi mungkin lebih tepat dikatakan RUmah baru.
Sebab rumah-rumah ini dibangun dari bantuan yang diberikan pemerintah pasca
terjadinya musibah mengerikan itu, dan kalau dihitung-hitung umur rumah-rumah
ini baru berumur 5 tahun.
4. Mata pencaharian masyarakat cirende
antara lain, menjadi pemulung besi dan bahan-bahan dari rumah-rumah yang sudah
tertimbun tanah dan sampah, menjadi tukang ojeg, atau masih memulung sampah
alakadarnya. Setelah bencana, pemerintah memang langsung menghentikan
pengiriman-pengiriman sampah dan memindahkannya ke tempat lain. Namun, pasca bencana,
tanah “kuburan” ini, justru menjadi ladang harta karun. Didalamnya masih
tertimbun, beberapa emas, uang tunai, barang elektronik (rusak ataupun bagus),
yang percaya atau tidak hingga saat ini masih saja sering ditemukan.
5. Letak kampong ini memang terisolir.
Bisa dilihat dari akses jalan yang amburadul. Jadi kesimpulannya, cimahi memang
memiliki jalan yang bagus KHUSUS untuk jalan-jalan dilewati para anggota “kerajaan” yang turun
temurun..sorry for saying that..but that’s true..silahkan di cek…
6. Ied adha tahun lalu, kampung ini
hanya disumbang 1 ekor kambing yang dbagikan ke 100 kepala keluarga, dan
mendapatkan kiriman daging kambing yang sudah dalam bentuk kemasan dari salah
satu partai. Namun tahun ini, Alhamdulillah rejeki mereka berlimpah ruah, setidaknya
mendapatkan tambahan beberapa plastic daging sapi. Fakta ini memang bertolak
belakang, dengan keadaan “papan” yang terlihat secara fisik. well.....Yang dapat
aku analisa, adalah gaya hidup dan ketidak tetapan mata pencaharian didaerah ini.
Rakyat disini, (mungkin) menabungkan pendapatannya dalam bentuk bangunan
hunian, atau memang ketidak tetapan mata pencaharian yang ada didaerah ini
menyebabkan masyarakatnya memiliki penghasilan yang tidak tetap juga. Faktanya,
9 ekor kambing yang diqurbankan, tak ada yang satupun yang merupakan donasi
dari rakyat setempat.
7. “Agama” kepercayaan yang sempat ku
dengar, ternyata memang masih dipeluk oleh beberapa tokoh masyarakat yang
berada di daerah cirende bagian depan, yaitu RT 02, 03, dan 05, yang sebetulnya
lebih dekat dari peradaban kota. Kepercayaan ini mengharuskan pemeluknya untuk
hanya memakan singkong, dan memiliki hari raya sendri, yaitu hanya pada tanggal
1 muharram. Kepercayaan ini sedkit demi sedkit sudah menghilang, salah satu
faktornya adalah karena istiadat pernikahan. Banyak yang dari mereka memilih memeluk
agama islam pada saat akan menikah, sebab adanya keharusan untuk menikah dengan
satu agama dalam islam. Diperkirakan tinggal 22 Kepala keluarga lagi disini
yang masih memeluk “agama” kepercayaan.
a Aku merasa sedikit lega dengan beberapa fakta yang ku lihat sendri disini ,namun beberapa kekurangan yang tentunya bukan berada dalam area kemampuanku dalam perjalanan ini, ku biarkan menjadi bahan perenungan bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini, temasuk para pemimpin yang diamanahkan untuk "memuaskan" kita yang berada dibawahnya. aku tersenyum menyudahi percakapan ini, sekali lagi TUhan membuat skenario dan hukum hukum hidup dengan begitu sempurnanya. Meski kadang-kadang DIA bercanda dengan kehidupan hambaNYA.
Perbincanganpun menemui
kebisuan, tanda-tanda bahasan sudah semakin sedikit. Selain itu, perut kamipun
sudah kenyang karena menyantap singkong goreng yang gurih dan renyah yang
disajikan saudara-saudara kami disana. Tibalah saatnya kamipun harus pulang,
dan 1 pernyataan yang ada dibenak kami, “bismillah, mudah-mudahan jalanan yang pada
saat datang kami lalui, takkan menyulitkan kami saat pulang….tapi tentu saja
kami ragu itu terjadi”.
Karena, PERJALANAN MASIH SANGAT PANJANG.
Cimahi, 30 Oktober 2012 20:13 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar