Selasa, 30 Oktober 2012

"DIARY" SEBUAH BENCANA 7 MENIT 7 TAHUN YANG LALU



26 Oktober 2012
SEBUAH CATATAN BERSAMBUNG DARI 13 TAHUN YANG LALU

1999
Rasanya masih mentah saat aku menginjakan kaki ditempat ini sebagai siswa kelas 2 SMU di sebuah Sekolah Umum Negeri di Cimahi. Saat itu aku melakukan riset bersama kawan-kawan praktikum biologi untuk mengumpulkan koleksi herbarium, mempelajari unsur sampah dan daur ulang, dan entah apa lagi yang kami lakukan saat itu. Rasanya baru kemarin aku meminta ibu memasak mie goreng sebagai bekal perjalanan itu, atau bersenda gurau dengan kawan-kawan saat perjalanan menaiki dan menuruni bukit, atau saat makan bersama yang aku baru tahu bahwa ada orang yang diam-diam memperhatikanku. Eitsssss…gini-gini juga ada lo yang ngeceng..hehehe

13 thn yang sangat singkat sejak aku menjejakan kaki diatas tumpukan sampah dan memperhatikan para pemulung yang mengais rejeki dari barang-barang yang seluruh Bandung buang secara sengaja atau tidak sengaja. Waktu yang sangat singkat juga sejak aku secara seksama mendengarkan penjelasan dari bapak penanggung jawab Tempat Pembuangan Akhir Leuwi Gajah itu. Dalam pikiran kami hanya terfikir betapa baunya tempat ini, satu cairan saja terpencret ke baju kami, baulah tubuh kami di sepanjang perjalanan. Yang ada dalam pikiran kami hanyalah betapa banyak para insan yang menggantungkan hidupnya, bahkan mereka bisa membeli barang-barang mewah dan rumah yang mentereng hanya dari mengais sampah. Dan tak terpikir sedikitpun di kepala kami, khususnya aku, bahwa 6 Tahun kemudian sebuah tragedi mengerikan akan memporak porandakan sebuah kehidupan dan menghilangkan sekitar 160 nyawa yang 30 diantaranya raib tak pernah ditemukan…..

Sekarang aku disini, terduduk disebuah motor matic sambil membayangkan betapa dulu tidak begini. Memang terasa hawa-hawa pedih dan kesedihan ditempat ini. Rasanya seperti disebuah negeri antah barantah yang tak ada dalam peta. Biasanya negeri tipe ini indah dan menakjubkan, namun yang kurasakan kini adalah sebuah kesedihan dan kenangan yang takan pernah terhapus meski cerita digerus peradaban dan perubahan zaman. Disini akan tetap tersimpan sebuah kenangan mengerikan yang jadi urban legend bagi seluruh penerus dan keturunan yang lahir ditempat ini..


2012
Perjalanan mulai terganggu rusaknya jalan, bahkan sejak keluar dari jalur utama Jln. Kihapit. Jalan berbatu berpasir, berdebu, well............ its perfecto I think. Namun, bebrapa meter kemudian jalan sudah lebih baik, dan dijalan ini terlihat sering diperbaiki. Di sisi kanan jalan terlihat sampah-sampah bertumpukan memamerkan dirinya, ada asap dan beberpa bilik tua yang menjadi hiasan lapangan sampah ini. Disebelah kiri jalan terdapat sebuah kampung yang berada dibawah jalan yang kami lalui. Kampung yang terletak di lembah bukit, dengan udakan-undakan sebagai jalan. Terlihat rumahnya cukup bagus dan mewah, dengan gapura selamat datang di awal “pintu masuk”. Ku fikir ini kampung yang akan kami tuju, ternyata………….bukan ini dan perjalanan kami selanjutnyalah yang layak disebut perjalanan.

Kami terus mengikuti jalan itu hingga menemukan sebuah jalan yang menurun, berbatu, berpassir, berdebu kembali. Hanya saja ini lebih parah, karena jalannya menurun dan batu-batu yang ada dijalan bejat ini lebih besar dari saat pertama kami keluar dari jalan utama. Tiba di bawah jalan, terdapat cagak yang kondisi jalan keduanya  SANGAT RUSAK PARAH. Ke arah kanan adalah arah yang akan kami ambil saat pulang nanti, sementara Yang paling parah adalah jalan yang sebelah kiri, sebab jalannya menanjak berbahaya ditambah batu-batu yang lebih besar lagi. sayangnya jalan inilah yang harus kami pilih. Salah satu motor dari kami bahkan sempat terjatuh dan kesulitan mencapai atas. Aku dengan sedkit keberanian yang ciut, dan nafas yang luar biasa sesak (maklum sedang kondisi tidak baik saat itu), mencoba menaiki jalan itu, dan kaki tetap di injakan ke tanah. Subhanalloh..sesaknya nafasku saat itu, namun alhamdulillah akhirnya aku sampai ke atas jalan, dan setelah melalui beberapa belokan akhirnya terlihatlah sebuah kampung kecil di balik bukit..aku sendiri sedikit heran, kenapa tak ada hingar bingar hari raya sebagaimana semestinya, namun mengingat kembali kondisi yang diceritakan salah seorang guruku, aku memahaminya.
 
Singkat cerita kami sampai di rumah ustadz yang mengajar di mesjid yang akan kami berikan donasi pada pukul 11.34 wib, saat itu hari jumat ied adha, dan kami yang laki-laki langsung melaksanakan shalat jumat bersama, meskipun hanya ada 4 baris kurang. Sehabis jumatan kami berkumpul dimesjid, beramah tamah, saling memperkenalkan, dan tentunya menyerahkan donasi yang alhamdulillah  berupa:

1.      27 Buah IQRA
2.      8 Buah Alquran biasa
3.      5 Buah ALQURAN terjemahan
4.      2 buah buku tajwid
5.      Uang Tunai Rp. 150000 (diberikan berkala)
6.      3 Ekor kambing untuk qurban



 Alhamdulillah semua donasi di berikan secara simbolis dan disaksikan beberpa tokoh didaerah tersebut.

Acara ramah tamahpun selesai, dan tibalah waktunya yang dinantikan, khusunya oleh 2 donatur yang alhamdulillah ikut bersama kami, yaitu penyembelihan hewan kurban.

Aku dan rombongan berjalan menuju sebuah wilayah yang berada dibawah lagi. Sebuah wilayah yang dekat dengan jalan. Sebuah jalan yang lagi-lagi terbentuk dari bebatuan dan pasir-pasri berdebu. Di wilayah ini, masih dengan beberapa rumah yang mentereng-meski lebih tepatnya dikatakan rumah baru- yang didepannya terdapat sebuah kandang kambing dengan beberapa kambing yang sudah terikat dibeberapa tiang.” Ini pasti hewan-hewan kurbannya”, pikirku. Ada 9 kambing yang Alhamdulillah gemuk yang sudah siap untuk disembelih. 9 Kambing?..berarti ada 6 kambing dari dontur lain. Alhamdulillah…

“Ritual” Qurban pun dimulai, “penyerahan” keikhlasan yang luhur dalam MAKNA hari raya Qurban betul-betul terasa. “pesta” bahagia seluruh muslimin sangat terasa tiba-tiba. Sebuah suasana hangat menyentuh relung-relung hati kami. Tiba-tiba saja kami begitu akrab dalam ikatan persaudaraan tanpa ikatan darah. Dan kami pun berbincang sambil menikmati olahan singkong, yang terkenal katanya menjadi komoditi utama daerah ini.

Letak geografis, administrasi daerah, bencana, dan kepercayaan yang ada di kampung ini menjadi pembahasan yang menarik. Beberapa kesimpulan yang kudapat mengenai daerah ini

1.      Daerah ini merupakan daerah terparah yang terkena musibah tanah longsor 5 tahun yang lalu. Meski menurut yang diberitakan, daerah cirende RT 02, 03, 05 lah  yang terkena hempasan musibah “sampah berapi”. Namun faktanya, yang terkena musibah ini adalah daerah kampong Pojok, RT 01 dan 04 cirende. Buktinya, daerah ini dianggap hilang, dan penduduknya diduga sudah tidak menempati daerah bencana, dan secara administrative kewilayahan kota, dihapuskan. NAmun, daerah ini sebetulnya berpindah dari daerah yang terkena bencana, mengungsi menuju daerah yang lebih aman di dekatnya
2.      Fakta bahwa pemerintah dahulu, tidak memperhatikan keadaan TPA Leuwi Gajah adalah salah. Awalnya pemerintah berencana untuk memindahkan pembuangan Sampah ini, namun masyarakat sekitar meminta untuk mengurungkannya. Bisa dimklumi sebenarnya, mengingat menjadi pemulung sampah, menjadi salh satu mata pencaharian sebagian masyarakat di daerah cirende. Namun alangkah nestapanya, sebab permintaan ini justru menjadi jalan pintas untuk mengundang “malaikat maut”…keterangan ini ku dapat dari pembicaraanku dengan ustadz yang mengajar di mesjid Nurul Huda
3.      Keadaan papan (rumah) masyarakat disini ternyata sangat bagus, tapi mungkin lebih tepat dikatakan RUmah baru. Sebab rumah-rumah ini dibangun dari bantuan yang diberikan pemerintah pasca terjadinya musibah mengerikan itu, dan kalau dihitung-hitung umur rumah-rumah ini baru berumur 5 tahun.
4.      Mata pencaharian masyarakat cirende antara lain, menjadi pemulung besi dan bahan-bahan dari rumah-rumah yang sudah tertimbun tanah dan sampah, menjadi tukang ojeg, atau masih memulung sampah alakadarnya. Setelah bencana, pemerintah memang langsung menghentikan pengiriman-pengiriman sampah dan memindahkannya ke tempat lain. Namun, pasca bencana, tanah “kuburan” ini, justru menjadi ladang harta karun. Didalamnya masih tertimbun, beberapa emas, uang tunai, barang elektronik (rusak ataupun bagus), yang percaya atau tidak hingga saat ini masih saja sering ditemukan.
5.      Letak kampong ini memang terisolir. Bisa dilihat dari akses jalan yang amburadul. Jadi kesimpulannya, cimahi memang memiliki jalan yang bagus KHUSUS untuk jalan-jalan  dilewati para anggota “kerajaan” yang turun temurun..sorry for saying that..but that’s true..silahkan di cek…
6.      Ied adha tahun lalu, kampung ini hanya disumbang 1 ekor kambing yang dbagikan ke 100 kepala keluarga, dan mendapatkan kiriman daging kambing yang sudah dalam bentuk kemasan dari salah satu partai. Namun tahun ini, Alhamdulillah rejeki mereka berlimpah ruah, setidaknya mendapatkan tambahan beberapa plastic daging sapi. Fakta ini memang bertolak belakang, dengan keadaan “papan” yang terlihat secara fisik. well.....Yang dapat aku analisa, adalah gaya hidup dan ketidak tetapan mata pencaharian didaerah ini. Rakyat disini, (mungkin) menabungkan pendapatannya dalam bentuk bangunan hunian, atau memang ketidak tetapan mata pencaharian yang ada didaerah ini menyebabkan masyarakatnya memiliki penghasilan yang tidak tetap juga. Faktanya, 9 ekor kambing yang diqurbankan, tak ada yang satupun yang merupakan donasi dari rakyat setempat.
7.      “Agama” kepercayaan yang sempat ku dengar, ternyata memang masih dipeluk oleh beberapa tokoh masyarakat yang berada di daerah cirende bagian depan, yaitu RT 02, 03, dan 05, yang sebetulnya lebih dekat dari peradaban kota. Kepercayaan ini mengharuskan pemeluknya untuk hanya memakan singkong, dan memiliki hari raya sendri, yaitu hanya pada tanggal 1 muharram. Kepercayaan ini sedkit demi sedkit sudah menghilang, salah satu faktornya adalah karena istiadat pernikahan. Banyak yang dari mereka memilih memeluk agama islam pada saat akan menikah, sebab adanya keharusan untuk menikah dengan satu agama dalam islam. Diperkirakan tinggal 22 Kepala keluarga lagi disini yang masih memeluk “agama” kepercayaan.

a   Aku merasa sedikit lega dengan beberapa fakta yang ku lihat sendri disini ,namun beberapa kekurangan yang tentunya bukan berada dalam area kemampuanku dalam perjalanan ini, ku biarkan menjadi bahan perenungan bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini, temasuk para pemimpin yang diamanahkan untuk "memuaskan" kita yang berada dibawahnya. aku tersenyum menyudahi percakapan ini, sekali lagi TUhan membuat skenario dan hukum hukum hidup dengan begitu sempurnanya. Meski kadang-kadang DIA bercanda dengan kehidupan hambaNYA.

Perbincanganpun menemui kebisuan, tanda-tanda bahasan sudah semakin sedikit. Selain itu, perut kamipun sudah kenyang karena menyantap singkong goreng yang gurih dan renyah yang disajikan saudara-saudara kami disana. Tibalah saatnya kamipun harus pulang, dan 1 pernyataan yang ada dibenak kami, “bismillah, mudah-mudahan jalanan yang pada saat datang kami lalui, takkan menyulitkan kami saat pulang….tapi tentu saja kami ragu itu terjadi”.

Karena,  PERJALANAN MASIH SANGAT PANJANG.

Cimahi, 30 Oktober 2012 20:13 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar