Selasa, 30 Oktober 2012

"DIARY" SEBUAH BENCANA 7 MENIT 7 TAHUN YANG LALU



26 Oktober 2012
SEBUAH CATATAN BERSAMBUNG DARI 13 TAHUN YANG LALU

1999
Rasanya masih mentah saat aku menginjakan kaki ditempat ini sebagai siswa kelas 2 SMU di sebuah Sekolah Umum Negeri di Cimahi. Saat itu aku melakukan riset bersama kawan-kawan praktikum biologi untuk mengumpulkan koleksi herbarium, mempelajari unsur sampah dan daur ulang, dan entah apa lagi yang kami lakukan saat itu. Rasanya baru kemarin aku meminta ibu memasak mie goreng sebagai bekal perjalanan itu, atau bersenda gurau dengan kawan-kawan saat perjalanan menaiki dan menuruni bukit, atau saat makan bersama yang aku baru tahu bahwa ada orang yang diam-diam memperhatikanku. Eitsssss…gini-gini juga ada lo yang ngeceng..hehehe

13 thn yang sangat singkat sejak aku menjejakan kaki diatas tumpukan sampah dan memperhatikan para pemulung yang mengais rejeki dari barang-barang yang seluruh Bandung buang secara sengaja atau tidak sengaja. Waktu yang sangat singkat juga sejak aku secara seksama mendengarkan penjelasan dari bapak penanggung jawab Tempat Pembuangan Akhir Leuwi Gajah itu. Dalam pikiran kami hanya terfikir betapa baunya tempat ini, satu cairan saja terpencret ke baju kami, baulah tubuh kami di sepanjang perjalanan. Yang ada dalam pikiran kami hanyalah betapa banyak para insan yang menggantungkan hidupnya, bahkan mereka bisa membeli barang-barang mewah dan rumah yang mentereng hanya dari mengais sampah. Dan tak terpikir sedikitpun di kepala kami, khususnya aku, bahwa 6 Tahun kemudian sebuah tragedi mengerikan akan memporak porandakan sebuah kehidupan dan menghilangkan sekitar 160 nyawa yang 30 diantaranya raib tak pernah ditemukan…..

Sekarang aku disini, terduduk disebuah motor matic sambil membayangkan betapa dulu tidak begini. Memang terasa hawa-hawa pedih dan kesedihan ditempat ini. Rasanya seperti disebuah negeri antah barantah yang tak ada dalam peta. Biasanya negeri tipe ini indah dan menakjubkan, namun yang kurasakan kini adalah sebuah kesedihan dan kenangan yang takan pernah terhapus meski cerita digerus peradaban dan perubahan zaman. Disini akan tetap tersimpan sebuah kenangan mengerikan yang jadi urban legend bagi seluruh penerus dan keturunan yang lahir ditempat ini..


2012
Perjalanan mulai terganggu rusaknya jalan, bahkan sejak keluar dari jalur utama Jln. Kihapit. Jalan berbatu berpasir, berdebu, well............ its perfecto I think. Namun, bebrapa meter kemudian jalan sudah lebih baik, dan dijalan ini terlihat sering diperbaiki. Di sisi kanan jalan terlihat sampah-sampah bertumpukan memamerkan dirinya, ada asap dan beberpa bilik tua yang menjadi hiasan lapangan sampah ini. Disebelah kiri jalan terdapat sebuah kampung yang berada dibawah jalan yang kami lalui. Kampung yang terletak di lembah bukit, dengan udakan-undakan sebagai jalan. Terlihat rumahnya cukup bagus dan mewah, dengan gapura selamat datang di awal “pintu masuk”. Ku fikir ini kampung yang akan kami tuju, ternyata………….bukan ini dan perjalanan kami selanjutnyalah yang layak disebut perjalanan.

Kami terus mengikuti jalan itu hingga menemukan sebuah jalan yang menurun, berbatu, berpassir, berdebu kembali. Hanya saja ini lebih parah, karena jalannya menurun dan batu-batu yang ada dijalan bejat ini lebih besar dari saat pertama kami keluar dari jalan utama. Tiba di bawah jalan, terdapat cagak yang kondisi jalan keduanya  SANGAT RUSAK PARAH. Ke arah kanan adalah arah yang akan kami ambil saat pulang nanti, sementara Yang paling parah adalah jalan yang sebelah kiri, sebab jalannya menanjak berbahaya ditambah batu-batu yang lebih besar lagi. sayangnya jalan inilah yang harus kami pilih. Salah satu motor dari kami bahkan sempat terjatuh dan kesulitan mencapai atas. Aku dengan sedkit keberanian yang ciut, dan nafas yang luar biasa sesak (maklum sedang kondisi tidak baik saat itu), mencoba menaiki jalan itu, dan kaki tetap di injakan ke tanah. Subhanalloh..sesaknya nafasku saat itu, namun alhamdulillah akhirnya aku sampai ke atas jalan, dan setelah melalui beberapa belokan akhirnya terlihatlah sebuah kampung kecil di balik bukit..aku sendiri sedikit heran, kenapa tak ada hingar bingar hari raya sebagaimana semestinya, namun mengingat kembali kondisi yang diceritakan salah seorang guruku, aku memahaminya.
 
Singkat cerita kami sampai di rumah ustadz yang mengajar di mesjid yang akan kami berikan donasi pada pukul 11.34 wib, saat itu hari jumat ied adha, dan kami yang laki-laki langsung melaksanakan shalat jumat bersama, meskipun hanya ada 4 baris kurang. Sehabis jumatan kami berkumpul dimesjid, beramah tamah, saling memperkenalkan, dan tentunya menyerahkan donasi yang alhamdulillah  berupa:

1.      27 Buah IQRA
2.      8 Buah Alquran biasa
3.      5 Buah ALQURAN terjemahan
4.      2 buah buku tajwid
5.      Uang Tunai Rp. 150000 (diberikan berkala)
6.      3 Ekor kambing untuk qurban



 Alhamdulillah semua donasi di berikan secara simbolis dan disaksikan beberpa tokoh didaerah tersebut.

Acara ramah tamahpun selesai, dan tibalah waktunya yang dinantikan, khusunya oleh 2 donatur yang alhamdulillah ikut bersama kami, yaitu penyembelihan hewan kurban.

Aku dan rombongan berjalan menuju sebuah wilayah yang berada dibawah lagi. Sebuah wilayah yang dekat dengan jalan. Sebuah jalan yang lagi-lagi terbentuk dari bebatuan dan pasir-pasri berdebu. Di wilayah ini, masih dengan beberapa rumah yang mentereng-meski lebih tepatnya dikatakan rumah baru- yang didepannya terdapat sebuah kandang kambing dengan beberapa kambing yang sudah terikat dibeberapa tiang.” Ini pasti hewan-hewan kurbannya”, pikirku. Ada 9 kambing yang Alhamdulillah gemuk yang sudah siap untuk disembelih. 9 Kambing?..berarti ada 6 kambing dari dontur lain. Alhamdulillah…

“Ritual” Qurban pun dimulai, “penyerahan” keikhlasan yang luhur dalam MAKNA hari raya Qurban betul-betul terasa. “pesta” bahagia seluruh muslimin sangat terasa tiba-tiba. Sebuah suasana hangat menyentuh relung-relung hati kami. Tiba-tiba saja kami begitu akrab dalam ikatan persaudaraan tanpa ikatan darah. Dan kami pun berbincang sambil menikmati olahan singkong, yang terkenal katanya menjadi komoditi utama daerah ini.

Letak geografis, administrasi daerah, bencana, dan kepercayaan yang ada di kampung ini menjadi pembahasan yang menarik. Beberapa kesimpulan yang kudapat mengenai daerah ini

1.      Daerah ini merupakan daerah terparah yang terkena musibah tanah longsor 5 tahun yang lalu. Meski menurut yang diberitakan, daerah cirende RT 02, 03, 05 lah  yang terkena hempasan musibah “sampah berapi”. Namun faktanya, yang terkena musibah ini adalah daerah kampong Pojok, RT 01 dan 04 cirende. Buktinya, daerah ini dianggap hilang, dan penduduknya diduga sudah tidak menempati daerah bencana, dan secara administrative kewilayahan kota, dihapuskan. NAmun, daerah ini sebetulnya berpindah dari daerah yang terkena bencana, mengungsi menuju daerah yang lebih aman di dekatnya
2.      Fakta bahwa pemerintah dahulu, tidak memperhatikan keadaan TPA Leuwi Gajah adalah salah. Awalnya pemerintah berencana untuk memindahkan pembuangan Sampah ini, namun masyarakat sekitar meminta untuk mengurungkannya. Bisa dimklumi sebenarnya, mengingat menjadi pemulung sampah, menjadi salh satu mata pencaharian sebagian masyarakat di daerah cirende. Namun alangkah nestapanya, sebab permintaan ini justru menjadi jalan pintas untuk mengundang “malaikat maut”…keterangan ini ku dapat dari pembicaraanku dengan ustadz yang mengajar di mesjid Nurul Huda
3.      Keadaan papan (rumah) masyarakat disini ternyata sangat bagus, tapi mungkin lebih tepat dikatakan RUmah baru. Sebab rumah-rumah ini dibangun dari bantuan yang diberikan pemerintah pasca terjadinya musibah mengerikan itu, dan kalau dihitung-hitung umur rumah-rumah ini baru berumur 5 tahun.
4.      Mata pencaharian masyarakat cirende antara lain, menjadi pemulung besi dan bahan-bahan dari rumah-rumah yang sudah tertimbun tanah dan sampah, menjadi tukang ojeg, atau masih memulung sampah alakadarnya. Setelah bencana, pemerintah memang langsung menghentikan pengiriman-pengiriman sampah dan memindahkannya ke tempat lain. Namun, pasca bencana, tanah “kuburan” ini, justru menjadi ladang harta karun. Didalamnya masih tertimbun, beberapa emas, uang tunai, barang elektronik (rusak ataupun bagus), yang percaya atau tidak hingga saat ini masih saja sering ditemukan.
5.      Letak kampong ini memang terisolir. Bisa dilihat dari akses jalan yang amburadul. Jadi kesimpulannya, cimahi memang memiliki jalan yang bagus KHUSUS untuk jalan-jalan  dilewati para anggota “kerajaan” yang turun temurun..sorry for saying that..but that’s true..silahkan di cek…
6.      Ied adha tahun lalu, kampung ini hanya disumbang 1 ekor kambing yang dbagikan ke 100 kepala keluarga, dan mendapatkan kiriman daging kambing yang sudah dalam bentuk kemasan dari salah satu partai. Namun tahun ini, Alhamdulillah rejeki mereka berlimpah ruah, setidaknya mendapatkan tambahan beberapa plastic daging sapi. Fakta ini memang bertolak belakang, dengan keadaan “papan” yang terlihat secara fisik. well.....Yang dapat aku analisa, adalah gaya hidup dan ketidak tetapan mata pencaharian didaerah ini. Rakyat disini, (mungkin) menabungkan pendapatannya dalam bentuk bangunan hunian, atau memang ketidak tetapan mata pencaharian yang ada didaerah ini menyebabkan masyarakatnya memiliki penghasilan yang tidak tetap juga. Faktanya, 9 ekor kambing yang diqurbankan, tak ada yang satupun yang merupakan donasi dari rakyat setempat.
7.      “Agama” kepercayaan yang sempat ku dengar, ternyata memang masih dipeluk oleh beberapa tokoh masyarakat yang berada di daerah cirende bagian depan, yaitu RT 02, 03, dan 05, yang sebetulnya lebih dekat dari peradaban kota. Kepercayaan ini mengharuskan pemeluknya untuk hanya memakan singkong, dan memiliki hari raya sendri, yaitu hanya pada tanggal 1 muharram. Kepercayaan ini sedkit demi sedkit sudah menghilang, salah satu faktornya adalah karena istiadat pernikahan. Banyak yang dari mereka memilih memeluk agama islam pada saat akan menikah, sebab adanya keharusan untuk menikah dengan satu agama dalam islam. Diperkirakan tinggal 22 Kepala keluarga lagi disini yang masih memeluk “agama” kepercayaan.

a   Aku merasa sedikit lega dengan beberapa fakta yang ku lihat sendri disini ,namun beberapa kekurangan yang tentunya bukan berada dalam area kemampuanku dalam perjalanan ini, ku biarkan menjadi bahan perenungan bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini, temasuk para pemimpin yang diamanahkan untuk "memuaskan" kita yang berada dibawahnya. aku tersenyum menyudahi percakapan ini, sekali lagi TUhan membuat skenario dan hukum hukum hidup dengan begitu sempurnanya. Meski kadang-kadang DIA bercanda dengan kehidupan hambaNYA.

Perbincanganpun menemui kebisuan, tanda-tanda bahasan sudah semakin sedikit. Selain itu, perut kamipun sudah kenyang karena menyantap singkong goreng yang gurih dan renyah yang disajikan saudara-saudara kami disana. Tibalah saatnya kamipun harus pulang, dan 1 pernyataan yang ada dibenak kami, “bismillah, mudah-mudahan jalanan yang pada saat datang kami lalui, takkan menyulitkan kami saat pulang….tapi tentu saja kami ragu itu terjadi”.

Karena,  PERJALANAN MASIH SANGAT PANJANG.

Cimahi, 30 Oktober 2012 20:13 WIB

Rabu, 17 Oktober 2012

ALI BIN ABI THALIB, PEMUDA YANG LAHIR DALAM KEPRIHATINAN DAN WAFAT DALAM KESUNYIAN


 Sahabat yang lahir dalam keprihatinan dan meninggal dalam Kesunyian.
Dialah, khalifah Ali bin Abi Thalib ra.

Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.

Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.

Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".

Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.

Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."

Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.

Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"

Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.

Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.

Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."

Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.

Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.

Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.

Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.

Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.

Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.

Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.


Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra
Sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir quraisy.

Bagi Fatimah, sosok rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.

Maka, saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.

Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah.

Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana, Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.

Pun, demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.

Dan lihatlah...langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. HIngga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling berhak...Fatimah.

Namun, waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.

Pada masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah...di tengah isak tangis Fatimah...Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini...terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah berkata, "Sepeninggalku, ...diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku..."

Kini, Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam erat tangannya...seakan ingin berkata, "kutunggu dirimu nanti di surga...bersama ayah...", Fatimah Az-Zahro menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya... dalam deraian air mata... Ali menguburkan jasad istrinya tercinta itu...yang masih belia itu...sendiri...di tengah malam buta...Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian, dengan dua tangan terkepal. Ali bangkit berdiri...dan berteriak sekeras-seKerasnya sambil menghadap langit...." A L L A H U ... A K B A R".


Pertempuran Antar Sahabat
Amirul Mukminin Ali ra., kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan. Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya (Ustman bin Affan) menyulut kontroversi. Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan.

Yang harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul pahit.

Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah 'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau, "orang lemah terlihat kuat dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya".

Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk Syam. Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik. Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs), kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal mulanya masa kemunduran Islam.

Ketidaksempurnaan informasi yang diterima bunda Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab bunda Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan menunggangi Unta. Bersama Aisyah, turut pula sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali mengutus beberapa pasukan khusus untuk mengawal kepulangan bunda Aisyah ke Mekkah.

Berikutnya adalah Perang Shiffin. Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu dialog.

Perundingan inilah yang kemudian membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat Ali di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di sisi lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal dengan negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya. Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.

Dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini, lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian Khalifah Ali.

Khawarij itu, Tiga untuk Tiga... Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan tersebut. Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.

Menjelang wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak psikologis amat berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin lalu oleh warga Kufah.

Karena itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”

Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”

"Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih mewakili hati yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat itu. Mereka menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan yang nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari kelakuan keji itu...

Usaha Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya, Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.

Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.

Islam telah ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik hidupnya telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin akan pula menjadi abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang ingin membawa bumi ini pada ketundukan kepada Allah SWT.

Saat ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.

Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri, dan juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah : "Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".

Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau, "Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit".

Khalifah Ali ra adalah sebuah legenda. He is a legend. Dan legenda tidak akan pernah mati. Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu, dan kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian matamu. Hadirkan para legenda-legenda Islam itu, termasuk beliau ini, dalam benakmu dan niscaya ia akan menjadi penerang bagimu...seterang-terangnya cahaya yang pernah ada di muka bumi.

Rabu, 10 Oktober 2012

JADI APA PERLU UANG UNTUK MENJADI KAYA?

RENUNGAN IDUL QURBAN

Seorang pedagang hewan qurban berkisah tentang pengalamannya: Seorang ibu datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya sepertinya tidak akan mampu membeli. Namun tetap saya coba hampiri dan menawarkan kepadanya, “Silahkan bu…”, lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya,”kalau yang itu berapa Pak?”.

“Yang itu 700 ribu bu,” jawab sa
ya. “Harga pasnya berapa?”, Tanya kembali si Ibu. “600 deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah…… . “Tapi, uang saya hanya 500 ribu, boleh pak?”, pintanya. Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya, akhirnya saya berembug dengan teman sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada ibu tersebut.

Sayapun mengantar hewan qurban tersebut sampai kerumahnya, begitu tiba dirumahnya, “Astaghfirullah……, Allahu Akbar…, terasa menggigil seluruh badan karena melihat keadaan rumah ibu itu.

Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga, dengan ibunya dan puteranya dirumah gubug berlantai tanah tersebut. Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik,. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh.

Diatas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus. “Mak…..bangun mak, nih lihat saya bawa apa?”, kata ibu itu pada nenek yg sedang rebahan sampai akhirnya terbangun. “Mak, saya sudah belikan emak kambing buat qurban, nanti kita antar ke Masjid ya mak….”, kata ibu itu dengan penuh kegembiraan.

Si nenek sangat terkaget meski nampak bahagia, sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap, “Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau emak mau berqurban”.

“Nih Pak, uangnya, maaf ya kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat qurban atas nama ibu saya….”, kata ibu itu

Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa , “Ya Allah…, Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan Imannya begitu luar biasa”.

“Pak, ini ongkos kendaraannya…”, panggil ibu itu,”sudah bu, biar ongkos kendaraanya saya yang bayar’, kata saya.

Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya…….

Untuk mulia ternyata tidak perlu harta berlimpah, jabatan tinggi apalagi kekuasaan, kita bisa belajar keikhlasan dari ibu itu untuk menggapai kemuliaan hidup. Berapa banyak diantara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk berkurban, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, ataupun aksesoris yg menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan qurban. Namun selalu kita sembunyi dibalik kata tidak mampu atau tidak dianggarkan.

UNTUK APA SIH KITA HIDUP?





sering juga mempertanyakan itu, kenapa TUHAN  "cape cape" meciptakan sebuah episode episode yang jika ditelaah semua orang mengalami putaran hidup yang sama..

begitu-begitu saja..

 barangkali yang membedakan adalah bagaimana kita memandang semua "amanah" ini menjadi sesuatu yang luar biasa yang berarti kita telah menunaikan janji sebagai mahluk paling mulia yang diciptakan TUHAN..

 tak mungkin TUHAN memubazirkan manusia yang dilahirkan, kecuali kita sendiri yang ingin hidup kita mubadzir, tak ada manfaat, dan hanya berkutat pada urusan perut sendiri, nama baik sendiri, pujian sendiri, jabatan sendiri, kemarahan sendiri, balas dendam sendiri, mencaci sendiri, memaki sendiri, memuji sendiri  yang sebenanrnya hanya menunggu mati sendiri....

dilahirkan, sekolah, lulus, karir cemerlang, semua kadang menenggelamkan pada urusan-urusan nafsu belaka yang kadang entah untuk apa, jika kita tak faham buat apa mekanisme rotasi hidup itu berlaku.......:DD

#renungan untukku dan untuk kita......

Selasa, 09 Oktober 2012

LEMBAGA HAFIDZ QUR'AN, SEBUAH SEJARAHPUN BARU SAJA DIMULAI....







JIILUL QURAN, sebuah sejarah generasi Qurani di Jahiliyah Modern

Mereka layaknya seperti anak-anak biasa pada umumnya. Mereka seperti kita dulu yang sekarang sedang menulis disebuah kantor, melamun disebuah kamar bersama istri atau suaminya, atau yang sedang memimpin Negara dengan segala problematikanya. Mereka seperti kita dulu saat kita dibentak ibu, karena es krim yang mengotori baju putih kita, atau dijewer pa ustadz karena shalat subuh yang sengaja ditinggalkan.

Rasanya semua ingatan-ingatan itu takkan pernah kadaluarsa menjadi kenangan yang tiada pernah terlupa. Namun coba Tanya pada diri kita, apakah kita sudah sejati menjadi hamba TUHAN yang segala sesuatunya kembali pada fitrah dan fungsi Kitab yang sengaja diturunkan TUHAN untuk menuntun kita?

Ah..jika memang belum, apakah kita akan mengatakan “terlanjur basah” dan kita diam?, atau kita tak merasa malu saat para muallaf justru lebih faham dengan apa yang mereka anut?..

Itu sih tentu pilihan dan hak semua orang? Tapi mengapa selalu ada istilah, bahwa seorang pencuri takkan mau putranya ikut menjadi pencuri?...BANTU MEREKA YUK!!

JIILUL Quran, mungkin terasa aneh bagi sebagian orang. Karena kebanyakan pengajian hanya berkutat pada fikih atau tauhid, atau ilmu science yang membanggakan yang turun temurun diajarkan dengan metoda feodal. Ya tentu tidak bisa disalahkan, karena materi-materi inipun  tidak kalah penting

Adalah terdapat sebuah masjid kecil yang dengan manajemen yang terbatas di sebuah kampong sisi kota di Cimahi, yang mencoba untuk menelurkan JIILUL-JIILUL (generasi-generasi) Qurani yang mencintai islam langsung dari sumber aslinya. Dan mereka digembleng sedemikian rupa, meski dengan keterbatasan dalam berbagai sisi, agar cita-cita mulia ini terwujud, meski sebetulnya sang pencetus tidak lebih dahsyat dari bocah-bocah luar biasa ini.hehe..tapi, tujuan mulianya untuk memberntuk pemuda pemudi yang Qurani, tentu tak sebagian orang terpanggil untuk memikirkannya

Bocah-bocah yang (menurut saya) agak sedikit bandel, namun sangat betah berdiam diri di mesjid untuk menghafal QS selanjutnya ini, selalu menjadi cerita yang membuat saya pribadi tertegun, menangis, terharu, dan mewarnakan hidup yang tidak hanya sekedar berwarna, tapi juga mengkilat dan bercahaya…

dengan berbagai keterbatasan kondisi, ruangan yang sempit dan berbenturan dengan kegiatan shalat 5 waktu, perlengkapan yang sederhana dan seadanya, keuangan yang betul-betul tergantung pada donatur yang terbatas, tidak menjadi halangan para bocah ini menuju impiannya menjadi SANG PENGHAFAL QURAN

Anak-anak ini memberi ruang pada semua orang dewasa yang masih memiliki hati dan ingin kembali pada fitrah manusia dilahirkan, agar kita bisa sedikit merenungkan tentang apa maksud TUHAN melahirkan kita didunia?, apa ini tentang makan, minum, ibadah, memuaskan nafsu, bekerja, berkeluarga, dan menunggu kematian?. Mereka juga memberi sebuah iklim agar, para orang dewasa tidak terlalu banyak beralasan dengan penyesalan-penyesalan hidup yang berkutat pada lingkaran itu itu saja.

Bolehlah kiranya sy berbagi cerita, agar dapat mengingatkan kita termasuk saya pribadi

Dan, Bagaimanakah kisah-kisah para bocah generasi Quran ala laskar pelangi ini?...hehe..mudah-mudahan Alloh memberi kemampuan dan kesempatan saya untuk membuka seluruh cerita bocah-bocah yang sebagian besar adalah anak-anak dengan ekonomi yang jauh dibilang “wawwwww” ini..

Jadi…ijinkan saya berbagi kisah itu!!


(bersambung)

Senin, 08 Oktober 2012

ELLEN NAYA, "Apakah anak miskin boleh menghafal Al-quran?"


Inilah kisah seorang bocah berumur 9 tahun, dengan kondisi keluarga yang tidak mampu versi "perkotaan".bocah  ini tetap menjaga dan dijaga keshalehannya dengan menjadi salah satu PENGHAFAL AL-QURAN terbaik dan sudah hampir menyelesaikan hafalannya sampai 1 juz 30..bagaimana kisahnya?....

(bersambung)

Rabu, 03 Oktober 2012

MENUNGGU SANG PENGAGUM


MENUNGGU SANG PENGAGUM
Oleh : Asep Suhermin


Bertanya pada mata hati yang berkerabat dengan kepasrahan. Dalam menunggu ruang yang tak kunju ng dapat di pahami dengan akal sehat. Aku memilih kata0kata pada langit –langit rumah yang berjamur. Tuhan, kiranya aku dapat menunggu sang waktu mengumandangkan adzannya dalam lelapnya tidurku.

Aku menjerit keras, “mampukan aku terkagumi dalam makna seorang biduan?” tak ada seorangpun menjawab

Aku menjerit mengeras, “ mampukah aku tekagumi dalam makna seorang pelacur?” tak seoarngpun menjawab

Aku mengeluh dalam jeritan keras, “mampukah aku dikagumi dalam makna seorang gadis dalam pakian hitam?” aku sendiri menjawab “ hiduplah dalam hakmu sebagi pecinta”

Bilang pada semua pendusta yang sesumbar dengan rayuan-rayuan laknat yang membumi. Untuk sejenak melupakan nafsu dan berpaling kepadaku, sang kejujuran.

“apakah artinya sendiri?” aku bertanya pada gelombang lautan. Dan mereka sama sekali tak mengerti, karena mereka menjadi gelombang tidak pada titik yang mampu ku teteskan pada telapak tanganku.

“lalu apakah artinya hidup dengannya?”  aku bertanya pada riak-riak air di lumbung padi. Dia hanya menjawab, “dengannya aku merasa nyaman”

“lalu apakah artinya sang pengagum untukku?” aku bertanya pada hatiku yang menjawab “pengusir lelah”

Aku bukan penjahat yang membawa senapan dan memaksa untuk melindungiku. Karena sapu lidi yang ku jadikan senjata pun mampu membela  diriku. Janya saja aku tetap terluka dalam pertempuranku melawan anjing-anjing jalanan.

Inikah sebuah perjuangan? Dalam menemukan sang pengagum yang mencat kuku-kukunya sambil bersiul?


22 Juni 2006






SI GADIS TAK BERAMBUT PANJANG



SI GADIS TAK BERAMBUT PANJANG
Oleh : Asep Suhermin

Jengkalan-jengkalan kerapuhan menguak sendiri dalam riak
Melewati titian tangga berderak dalam kelelahan
Engkau menjerit dalam terompet perak
Meniupkan kegalauan cita-cita diujung amarah
Gagal, kembali engkau taburkan

Namun…..
Memang tak ada guna memilih diam

Engkau kembali berayun diujung senja
Namun tak kau perhatikan tahi burung-burung gereja berjatuhan
Bersaing merebut tempat terdekat
Dimana ada batang-batang pohon coklat yang kuat kau sandarkan
Sambil bernyanyi menjemput pagi disore hari

Engkau tersakiti karena kaki-kaki pegal
Jalanan pun terasa penuh bebal

Engkau kulihat menyapu kekesalan
Dengan terus berjalan dalam rambut-rambut tak bertuan
Karena memang kau sendiri tak punya
Hanya kecantikan dibalik kerudung hitam yang terlunglai
Tertiup angin dalam benih-benih puisi

Kini…….
Kau terbaring
Kau terkulai, dalam cermin
Dan bongkahan-bongkahan kubus es balok
Menunggu terpejam dan mencium udara
Menjadi gadis terkuat dalam kelemahan yang menghardik kelopak mata
Akan tetapi, tak kau pedulikan dan pergunakan
Karena memang kau satu-satunya gadisku..setia

Puisi tahun 2004

MENGGUGAT LELAH

MENGGUGAT  LELAH
Oleh : Asep Suhermin

Saat letih tak lagi mampu dirasakan
Hanya pasrah yang mungkin akan terucap
Karena rindu bukanlah sebuah jalan pilihan
Berbatas harapan yang semu kemulai meraih sebuah mahkota

Kini aku mulai kembali berharap ada kekuatan yang terdalam dapat meletihkan keputus asaan. Karena telah 24 tahun aku berpijak dalam ketidak pastian. Mungkin hanya mati yang akan menjawab sebuah kutukan. Inilah aku yang sudah renta dan tak mampu lagi bersujud. Namun aku tegakkan kelopak mata yang sudah tak dapat lagi  terkatup.

Jadi siapa lagi yang harus aku percaya? Dalam aku merenung malam yang tak jua dapat memberikan jawabannya. Haruskah aku tertidur kembali dalam kelelahan?

Kini peluh-peluh telah terbayar keringat. Hanya bergumam dan mengumpat dalam kicauan dan kabar burung. Sebuah motivasi terperangkap untuk terus melaju dalam sebuah cita-cita. Kuharap kau tak pernah ada dan takkan pernah ada. Aku marah saat kau ada dan memanggilmu saat kau tak ada. Kau datang terlalu cepat dan pergi terlalu lambat.

Jadi, jika bayi yang menangis pun kau jamah hingga tertidur, ku harap kau mampu menidurkannya dalam nyenyak. Dan membangunkannya dengan air susu terlihat mata kecilnya. Tapi kau datang dan kembali menyulam kantuk dalam wajah kecilnya setelah terlelap dalam deru-deru tangisnya.

Ah…kuberi laknat dengan rasa ini. Pergi jauh untuk menggapai musnah. Aku tak membutuhkan mu. Jangan kau jamah keabadian dan semangat hidup yang terjalani kami para mahluk. Tapi layakkah aku menggugat mu dalam kau yang kadang kali pula binasa?

Aku tak boleh memintamu mati. Karena kau ada karena aku ada. Semua yang tampak bergelayutan untuk berdiri pada dua kaki yang letih. Kau usik dengan lembut dan kesesalanpun terbingungi. Tetes –tetes yang kerap kali keluar dari mata, dan kusebut air mata, menjadi sebuah contoh bahwa kau tidak diharapkan. Namun saat kelak nanti waktu memulihkan semua menjadi kuat, aku akan bilang persetan jikalau kau datang lagi.

Apalagi jika kau merindukan jejak-jejakku yang aku sendiri sadar akan menghilang tanpa aku harus hapus. Bercanda tawapun kau harus datang. Dalam air mataku pun ku tahu kau tertawa membelai. Menjadi manusia terbaik pun kau tetap belay dalam bingung. Sedianya cukup wajar bagiku letih untuk menjadi cemooh masa menjadi yang terburuk untuk para tetangga.

Hai…kau yang selalu membuat aku mati
Hai….kau yang selalu ku lawan dalam pergulatan menindihmu
Hai…kau yang diam meski tak pernah kalah

Berbagilah kau dengan masa depan dan akan menjadi masa lalu. Kadang aku yang ingin terbangun di tengah malam, kau usik dengan suara bising di telinga yang tak dapat pula kudengat. Kau khayalkan aku dalam sebuah mimpi dan pengharapan yang sesaat.
Kini bertasbih aku mengingat penciptamu.

Kau Ia ciptakan agar ada waktu aku untuk mengenal wajahku.
Kau Ia ciptakan agar aku mampu mendengar suara nadir kecil di hatiku.
Kau Ia kirimkan untuk memenuhi hasrat rasa sakit dalam kesembuhan
Namun, picik rasanya kau ku jamah dan kau ku anjingkan dalam berbagai usahamu menghangatkan aku.

Ini adalah sebuah prosa puisi yang tergugat namun tak pernah perlu digugat. Hanya saja, aku berdiri di podium dengan menerima teriakan kagum tanpa ada rasa ini. Inilah yang ku sebut ingkar dalam keadaan sebenarnya. Jika semua menyadari apa yang ada didepan adalah jalan kelarnya. Yentunya kita hanya harus mencari tanpa harus menggugat apapun yang terlihat, terdengar, tercium dan terpijak. Karena apapun hanyalah warna abu-abu yang sebentar lagi memutih atau menghitam dalam buih-buih keputusan yang kita pilih. Menggugat kekuatan lelah atau mencari kekuatan dalam lelah?


16 Juni 2007